Manajemen Pertahanan sebagai Strategi Persepsi: Pelajaran dari Serangan Trump ke Instalasi Nuklir Iran​

Manajemen Pertahanan sebagai Strategi Persepsi: Pelajaran dari Serangan Trump ke Instalasi Nuklir Iran

Kolonel Tek. Dr. Ir. Hikmat Zakky Almubaroq, S.Pd., M.Si.
Kaprodi S2 Manajemen Pertahanan Unhan RI

Ketika Donald Trump melakukan serangan udara terhadap instalasi nuklir Iran tanpa seizin Kongres AS. Tindakan ini memicu gelombang kecaman dan membuka kembali peluang pemakzulan terhadap dirinya.

 

Namun, jika ditelaah lebih dalam, motif dari serangan ini tampaknya bukan semata-mata strategi militer. Langkah Trump  dapat juga dibaca sebagai manuver politik yang sarat kalkulasi: demi persepsi publik domestik dan internasional. 

Trump diketahui memiliki ambisi besar untuk menjadi pembawa damai dunia, bahkan berharap meraih Hadiah Nobel Perdamaian.

 

Salah satu narasi politik yang terus ia gaungkan adalah janji menyelesaikan konflik Ukraina hanya dalam satu hari, seandainya ia kembali menjabat. Namun faktanya, janji itu tak kunjung terwujud, dan konflik justru terus menghangat. 

Di sisi lain, kelompok neokonservatif di AS, yang erat kaitannya dengan industri pertahanan dan lobi Yahudi, juga memainkan peran penting dalam mendorong kebijakan agresif AS di Timur Tengah. Mereka mengangkat narasi bahwa Iran tengah mempersiapkan bom nuklir untuk menghancurkan Israel. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan dilaporkan melakukan lobi pribadi kepada Trump untuk membom fasilitas nuklir Iran.

 

Namun citra satelit memperlihatkan bahwa serangan tersebut lebih bersifat simbolik. Serangan itu tidak benar-benar menghancurkan situs strategis Iran. Hal ini menunjukkan bahwa Trump mungkin hanya ingin mengirim pesan kepada Israel dan pemilih konservatif Amerika, sambil tetap menyisakan ruang diplomasi untuk membela diri di hadapan Kongres.

 

Yang menarik, tak lama setelah serangan simbolik tersebut, Trump langsung mengusulkan gencatan senjata antara Iran dan Israel. Ini menunjukkan adanya strategi komunikasi politik yang terstruktur.

 

Namun respons Iran tidak datang dalam bentuk wacana. Iran membalas secara langsung dengan menembakkan rudal ke salah satu pangkalan militer AS di Qatar, yang disebut sebagai pusat logistik dan komando regional AS di Timur Tengah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang signifikan, serangan ini menjadi sinyal bahwa Iran tidak ingin hanya menjadi objek permainan geopolitik. Mereka juga memainkan strategi persepsi mereka sendiri: bahwa mereka tidak tinggal diam dan memiliki kapabilitas untuk melawan.

 

Dari perspektif manajemen pertahanan, kita melihat bahwa kekuatan militer tidak hanya digunakan untuk menghancurkan musuh, tetapi juga sebagai alat strategic signaling, membentuk opini publik, dan mempengaruhi aktor-aktor lain di panggung internasional. Serangan, baik dari Trump maupun balasan dari Iran, adalah bagian dari narasi besar: manajemen persepsi global.

 

Inilah yang perlu dipahami dalam dunia pertahanan modern. Pengambilan keputusan militer saat ini sangat dipengaruhi oleh dinamika politik domestik, tekanan internasional, dan pengelolaan persepsi publik. Maka dari itu, seorang pemimpin pertahanan bukan hanya dituntut memiliki kecakapan teknis, tetapi juga kemampuan memahami psikologi geopolitik dan narasi global yang sedang dibangun.

 

Satu hal yang perlu kita ingat, Donald Trump adalah seorang pebisnis, marketing adalah perang persepsi.

Serangan bisa saja hanya menjadi “iklan besar” untuk sebuah citra, bukan serangan nyata untuk memenangkan perang.

 

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *