Maulid Nabi: Menggugah Nurani di Tengah Nestapa Bangsa

Maulid Nabi: Menggugah Nurani di Tengah Nestapa Bangsa

Euforia perayaan Maulid Nabi tahun ini berlangsung di tengah bangsa yang kian terbelah oleh polarisasi politik. Kontestasi kekuasaan menjadikan saudara sebangsa seolah bermusuhan; media sosial penuh dengan cacian dan hoaks yang mengoyak rasa persatuan. Kampanye politik baru-baru ini sarat ujaran kebencian dan cemoohan, berujung pada polarisasi tajam – mengulang preseden buruk sebelumnya. Bahkan, meski tak seekstrem Pemilu 2014 atau 2019, agama masih kerap diperalat demi ambisi elektoral di berbagai daerah. Ironis, di negeri berpenduduk mayoritas Muslim, jargon religius justru dipakai untuk memecah belah umat

Kolonel Tek. Dr. Ir. H. Zakky Almubaroq, S.Pd., M.Si., CIQaR., CIQnR., MCF., IPU.

Ketua Umum Yayasan Ponpes Alqomariah Kec. Gununghalu, Kab. Bandung Barat

Kemerosotan Moral di Kalangan Elite dan Rakyat

Lebih memprihatinkan lagi, krisis moral menggerogoti sendi bangsa dari atas hingga bawah. Alih-alih meneladani akhlaqul karimah Rasulullah, sebagian elite justru terjebak korupsi dan skandal. Baru-baru ini Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua KPK, hingga Ketua KPU tersandung pelanggaran etik dan hukum – suatu erosi moral di pucuk pimpinan lembaga negara. Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, mengingatkan bahwa pelanggaran etika pejabat publik tak bisa dianggap remeh karena mereka seharusnya menjadi teladan masyarakat. Kenyataannya, ketika korupsi, materialisme, politik uang, hedonisme, dan oportunisme merajalela, terjadilah krisis moral kolektif.

Gejala anomie ini tampak di mana-mana. Pejabat menghalalkan segala cara demi kuasa; sementara di akar rumput, kejahatan siber, judi online, narkoba, kekerasan seksual, hingga pembunuhan dalam keluarga turut mewarnai berita harian. Nilai-nilai agama seolah tercerabut dari praktik kehidupan. Padahal, Nabi Muhammad digelari al-Amin (yang terpercaya) karena integritas dan kejujurannya. Beliau menegakkan moral tanpa pandang bulu, bahkan bersabda bahwa andaikata putrinya mencuri, ia sendiri yang akan memotong tangannya. Keteladanan sedemikian mestinya menampar nurani kita. Apakah pantas kita merayakan kelahiran Nabi sementara korupsi dan kebohongan kita biarkan tumbuh subur?

Maulid Nabi adalah momentum muhasabah nasional. Inilah saat yang tepat bagi para pemimpin untuk bercermin pada kesederhanaan dan amanah Rasulullah. Beliau memimpin dengan rendah hati dan menjauhi privilese; rumahnya sederhana, pakaiannya tak mewah, dan tak pernah beliau gunakan aset negara untuk keluarga sendiri. Bandingkan dengan para pejabat kita yang gemar pamer kekayaan hasil korupsi, atau wakil rakyat yang hidup bak raja. Sudah cukup! Bangsa ini merindukan pemimpin berakhlak, tegas membela kebenaran, bukan penjilat apalagi penindas.

Ketimpangan Sosial dan Ketidakadilan

Selain krisis moral, kemerosotan akhlak sosial tampak pada jurang ketimpangan yang melebar. Slogan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tinggal mantra kosong ketika segelintir orang bermandikan kemewahan sementara jutaan lainnya sulit memenuhi kebutuhan dasar. Badan Pusat Statistik mencatat Gini Ratio Indonesia sebesar 0,388 per Maret 2023, indikasi kesenjangan yang tinggi. Ketimpangan ini terasa nyata: anggota DPR diberitakan menerima gaji dan tunjangan hingga Rp100 juta per bulan, bebas pajak, plus pensiun seumur hidup, namun di saat yang sama banyak rakyat kecil pontang-panting didera harga kebutuhan pokok yang melambung. Mirisnya lagi, berbagai undang-undang lahir bukan untuk melindungi rakyat melainkan mengamankan kepentingan segelintir elite. Wakil rakyat sering abai memperjuangkan aspirasi wong cilik, dan kebijakan pemerintah acap tak memihak masyarakat luas – mulai harga sembako, pengelolaan sumber daya alam, pajak yang mencekik, hingga minimnya jaring pengaman sosial. Akibatnya, yang kaya kian kaya, yang miskin kian terhimpit.

Ketimpangan sosial ini ibarat bom waktu yang mengancam persatuan. “Andaikan Pancasila benar-benar teraktualisasi, mungkin persatuan tak lagi jadi masalah,” tulis sebuah opini. Namun realitanya, ketidakadilan ekonomi, kesenjangan pendidikan, dan jurang sosial menciptakan kecemburuan serta frustrasi kolektif. Rasa keputusasaan inilah yang kerap menyulut konflik horizontal. Jangan lupa, salah satu misi kenabian Muhammad SAW adalah menegakkan keadilan bagi kaum tertindas. Di masa jahiliah, beliau membela hak kaum miskin dan budak dari penindasan para pembesar Quraisy. Lantas, di negeri yang mengaku berketuhanan Maha Esa ini, mengapa masih begitu banyak saudara kita yang menderita kelaparan, putus sekolah, atau terhalang berobat? Peringatan Maulid seharusnya menggugah empati sosial kita. Tiada guna kita berselawat memuji Nabi sementara tetangga kita kelaparan tidak kita pedulikan. Spirit rahmatan lil-alamin (rahmat bagi semesta) menuntut kita mempersempit ketimpangan dan menghadirkan keadilan sosial sekarang juga.

Merebaknya Intoleransi dan Hilangnya Tenggang Rasa

Lebih tragis lagi, benih-benih intoleransi tumbuh subur belakangan ini, mengoyak tenun kebhinekaan yang diwariskan para pendiri bangsa. Indonesia yang majemuk sedang diuji oleh sikap-sikap eksklusif dan fanatik sempit. Data menunjukkan kasus intoleransi terhadap pemeluk agama/kepercayaan meningkat signifikan: tahun 2023 tercatat 217 peristiwa (329 tindakan), naik menjadi 260 peristiwa (402 tindakan) pada 2024. Artinya, hampir setiap hari terjadi insiden pelanggaran kebebasan beragama. Dari penutupan rumah ibadah secara paksa, persekusi terhadap jemaat minoritas, hingga kekerasan fisik. Pada Mei 2024, misalnya, sekelompok massa membubarkan paksa ibadah rosario mahasiswa Katolik di Tangerang Selatan dan melukai peserta dengan senjata tajam. Bahkan yang lebih menggetarkan hati, seorang bocah 8 tahun di Riau tewas dipukuli teman-temannya hanya karena berbeda agama. Bayangkan, anak sekecil itu meregang nyawa akibat kebencian yang diwariskan!

Di manakah nurani kita? Nabi Muhammad SAW sepanjang hidupnya justru menjunjung tinggi toleransi. Saat memimpin Madinah, beliau menjamin kebebasan beribadah bagi semua komunitas. Piagam Madinah yang beliau tetapkan memberikan hak dan perlindungan setara bagi Muslim maupun non-Muslim[5]. Nabi bahkan berdiri menghormati iringan jenazah seorang Yahudi, teladan nyata bahwa perbedaan keyakinan tidak menghalangi rasa kemanusiaan. Lalu mengapa kini, di bumi Pancasila, sebagian dari kita mudah sekali menyulut api kebencian SARA? Maulid Nabi semestinya menjadi cermin, apakah cinta kita pada Rasulullah sungguh terejawantah dalam sikap tenggang rasa? Jangan sampai lantunan selawat dan pujian di hari Maulid hanya lips service belaka, sementara hati kita masih penuh prasangka dan kebencian terhadap sesama anak bangsa. Fakta bahwa dinamika politik 2024 ikut menyumbang meningkatnya kasus intoleransi juga menjadi alarm: jangan biarkan perbedaan pilihan politik merusak persaudaraan lintas iman. Saatnya semua tokoh agama dan masyarakat bersuara lantang melawan intoleransi. Ingatlah, kemerdekaan negeri ini diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa, tak memandang suku ataupun agama. Jika dulu para pendiri bangsa bisa bersatu, mengapa sekarang kita biarkan perbedaan mencerai-beraikan?

Meneladani Nabi: Seruan Perubahan dan Harapan

Peringatan Maulid Nabi bukan sekadar ritual rutin atau seremonial tahunan. Ia adalah ajakan spiritual untuk meneladani sosok Rahmatan lil-‘alamin dalam menghadapi tantangan zaman. Di tengah polarisasi politik, Nabi mengajarkan persatuan dan musyawarah. Di tengah kemerosotan moral, Nabi memberi contoh akhlak mulia, jujur dan amanah. Di tengah ketimpangan sosial, Nabi mencontohkan hidup sederhana dan peduli fakir miskin. Di tengah intoleransi, Nabi menunjukkan kasih sayang lintas golongan. Semua cita-cita ideal itu telah beliau praktekkan dan buktikan, maka meneladaninya bukan utopia – itulah kunci kebangkitan bangsa.

Kini saatnya kita menjawab seruan sejarah ini. Persatuan adalah tantangan nasional terbesar, tapi bukan mustahil digapai jika kita sungguh-sungguh mengamalkan ajaran Nabi. Mari hentikan politik saling hujat; berkompetisilah secara santun dan fair. Kepada para pemimpin, cukup sudah mengecewakan rakyat – teladanilah keberpihakan Nabi pada kaum lemah, buat kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat jelata. Kepada aparat penegak hukum, sadarilah bahwa menegakkan keadilan adalah amanah suci; berhentilah memperjualbelikan hukum. Kepada tokoh agama, jadilah penyejuk di tengah panasnya situasi – suarakan perdamaian dan toleransi sebagaimana Rasulullah mengayomi semua umat. Dan kepada kita semua, umat Islam khususnya, buktikan cinta kita pada Nabi dengan menyebarkan akhlaknya dalam kehidupan: lebih jujur, lebih santun, dan lebih menghargai perbedaan.

Bangsa ini masih punya harapan selama kita mau berubah. Jangan biarkan peringatan Maulid berlalu tanpa makna. Jadikanlah momen suci ini sebagai titik balik, sebuah revolusi akhlak dan solidaritas sosial yang menggugah jiwa. Jika di hati setiap anak bangsa terpancar cahaya keteladanan Nabi, niscaya polarisasi bisa mencair, korupsi bisa terkikis, jurang kaya-miskin bisa dipersempit, dan intoleransi bisa sirna. Seperti fajar yang merekah setelah gulita, spirit Maulid Nabi adalah cahaya harapan di tengah kelamnya realitas kita. Mari songsong perubahan dengan optimisme yang dipandu iman dan moralitas. Kelahiran Nabi Muhammad SAW kita peringati bukan hanya dengan seremonial, tapi dengan kebangkitan nurani untuk menyelamatkan Indonesia. Inilah saatnya bangsa ini bangkit dari nestapa menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur – negeri yang sejahtera, bermartabat, dan dirahmati Tuhan. Semoga.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *